I can (not) hear
tak hanya menceritakan tentang Perjalanan Seorang Anak Tuna Rungu
Menuju Dunia Mendengar tetapi juga menceritakan bagaimana perjuangan
keluarga Johnwei dan San menerima kenyataan bahwa putrinya yang cantik
bernama Gwendoliyne atau yang biasa dipanggil Gwen terlahir dalam keadaan Tuna Rungu dan membimbingnya menuju dunia yang sama dengan anak normal lainnya.
Kisah ini dimulai ketika 10 tahun yang lalu pasangan keluarga John dikaruniai seorang putri cantik bernama Gwendolyne. Gwen terlahir dengan keadaan fisik luar yang normal seperti layaknya bayi umumnya namun sayangnya sejak lahir ia menderita tuna rungu. Gwen hidup dalam dunia yang sunyi senyap sementara di sekelilingnya dunia tampak warna-warni.
Kisah ini dimulai ketika 10 tahun yang lalu pasangan keluarga John dikaruniai seorang putri cantik bernama Gwendolyne. Gwen terlahir dengan keadaan fisik luar yang normal seperti layaknya bayi umumnya namun sayangnya sejak lahir ia menderita tuna rungu. Gwen hidup dalam dunia yang sunyi senyap sementara di sekelilingnya dunia tampak warna-warni.
Saat Gwen berumur 1 bulan, San merasa mulai curiga dengan telinganya
berbau padahal tidak ada kotoran. Dan ketika ada suara keras, gwen tidak
respon. Ibu mulai memutuskan membawa anaknya berobat ke Hongkong. Ternyata dokter memberitahu bahwa
kecurigaan ibu benar bahwa anak mengakami masalah pendengaran. Namun Seperti
layaknya seseorang yang begitu terhempas, mendapati putrinya tak
seperti yang lain, terutama San sebagai sang ibu, sangat kelihatan jelas
bahwa awalnya ia sangat sibuk mencari pembenaran akan kesalahan
diagnosa fakta yang ia hadapi bahwa Gwen menderita tuna rungu
San, sibuk ke sana kemari mencari apa penyebab kenapa sampai Gwen menderita ketulian. Setiap dokter yang dia tanya, selalu ia berharap dengan adanya kalimat “ Putri anda tidak apa-apa,dia akan segera sembuh dan normal”
Tapi sejauh apapun melangkah dan bertanya, San tak pernah menemukan jawaban yang lebih baik. Ia tak putus asa, walaupun awalnya ia hampir menyerah saat Dr. Kwong mengatakan dengan kasar kepadanya :
“ Lihat kan? Saya sudah bilang, tidak ada gunanya melakukan tes lain lagi. Hasilnya akan sama saja! Anakmu itu TULI. Paham? Dia TULI!!!
Yang harus anda pikirkan adalah apa yang harus anda lakukan selanjutnya. Kalo anda terus bertanya kenapa ini bisa terjadi, APA HASILNYA? Apakah itu bisa menolong anda? Apakah bisa menolong anak anda? Memikirkan masa lalu, bertanya-tanya’kenapa’ itu akan menyembuhkan ketulian bayi Anda?”
Walaupun kata-kata itu amat kasar dan menyakitkan, tak urung mampu membangkitkan kesadaran San untuk melakukan tindakan segera bangkit menghadapi kenyataan dan kemudian mengambil tindakan.
Saat berusia 1,5 tahun Gwen menjalani operasi cochlear implant, yaitu suatu operasi pemasangan chip atau elektroda di ruang siput telinga bagian dalam agar ia mampu menangkap sinyal suara dari luar yang di kirimkan oleh suatu alat.
Pemasangan Cochlear implant tak serta merta membuat Gwen bisa mendengar seperti anak yang lain. Perlu latihan yang terus menerus untuk membuatnya mengerti dan mengenali frekwensi suara yang dihasilkan oleh bunyi-bunyi dari luar.
John dan San juga tak serta merta memahami apa yang dikatakan Gwen dan juga tak serta merta memahami apa yang dimaksud Gwen. Kesal, marah dan kecewa namun orang tua Gwen tak pernah menyerah,tak pernah putus asa untuk mengajari Gwen menjadi seseorang yang mandiri. Apalagi ketika San sedang study di Sydney untuk S2 nya sedang John harus mengurusi bisnisnya di Jakarta.
Pernah suatu ketika, John memukul Gwen dengan keras karena Gwen tak mau mengenakan stockingnya saat akan diajak keluar jalan-jalan. Ia mengira Gwen sedang membandel dan mulai membangkang perintahnya, tanpa mencari penyebab yang jelas. Setelah dirunut dari awal, ternyata Gwen tak ingin menggunakan stocking karena ia ingin menunjukkan kuku cantiknya yang baru di cat.
Namun setelah tahun demi tahun dijalani keluarga Gwen, dengan masa adaptasi dan ketekunan untuk melatih kesempurnaan wicaranya, artikulasi Gwen bertambah bagus seiring dengan usianya.
Di Jakarta Gwen disekolahkan sekolah internasional. Gwen
mengalami penolakan masuk sekolah itu. Orangtua ini berusaha mencari jalan lain
agar diterima di JIS . Mereka mengirim
laporan verbal therapist dari Woofit preschool di Australia ke JIS. Dan
akhirnya JIS memutuskan menerima Gwen dan memutuskan melakukan pengawasan
selama 1 tahun. Setelah mendengar penjelasan kepala sekolah JIS, hati orangtua
sangat lega. Dengan senyum lebar John (papa Gwen ) menjabat tangan dengan kepala
sekolah ,” Saya akan buktikan bahwa anak saya bisa bersekolah di sini ,” ujarnya
percaya diri.
Selama masa bersekolah, Gwen sadar bahwa dirinya
tunarunggu dan bertanya ibu mengapa
dirinya tunarunggu dan ibu menjelaskan bahwa memakai alat bantu dengar ibaratkan
memakai kacamata. Kalau tidak memakai kacamata, maka tidak bisa melihat dengan
jelas. Kadang- kadang anaknya mendapat
masalah di sekolah, ibu dipanggil sekolah. Setelah mendengar penjelasan kepala
sekolah, ibu dan ayah memutuskan memperbaiki sikap dan menegur anaknya agar
anaknya dapat diterima di lingkungan social. Ternyata perjuangan orangtua
membuahkan hasil. Anaknya bisa bersosialisasi dengan normal , dan bisa
berbahasa Inggris seperti anak normal.
Yang
jelas, buku ini secara detail menampilkan bahasa yang halus dan dewasa
dan mampu memberikan kekuatan bagi pembacanya. Membuat pembacanya takjub
dan berani mengatakan Wow! lalu mancantumkan sejuta tanda seru : Ternyata keajaiban itu selalu ada ya!!
Barangkali
juga buku ini merupakan kesimpulan dari sebuah kekuatan seorang yang
tak dikaruniai kelengkapan sebagai normalitas secara fisik menuju ke
arah kesempurnaan secara layak, bahwa sekurang apapun kekuatan manusia
jika mampu berusaha akan mampu menapaki jalan ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar