Andrea
Hirata, novelis Indonesia paling fenomenal, menghadirkan Sebelas Patriot sebagai novel ketujuhnya dalam bahasa Indonesia.
Sebelas Patriot
adalah adalah kisah yang menggetarkan dan sangat inspiratif tentang cinta
seorang anak, pengorbanan seorang Ayah,makna menjadi orang Indonesia, dan
kegigihan menggapai mimpi-mimpi.
Semua
hal yang pernah Bujang ingat tentang Ayahnya adalah biasa saja. Sangat biasa.
Ingatan pertama tentang Ayahnya tampak samar, yaitu pada suatu malam Bujang
duduk ditengah sebuah ruangan dengan dua anak lain yang bernama Trapani dan
Mahar tiba-tiba Mahar, dengan jarinya, menyentuh hidung luak. Binatang malam
itu tersentak lalu mencakar garang. Bujang pucat dan gemetar. Ayah budang
mendekapnya dan sambil tersenyum diletakkannya tangannya di dada Bujang untuk
meredankan gemuruh disitu. Nah itu lah ingatan Bujang, mungkin ketika itu
Bujang masih berumur tiga atau empat tahun.
Ayahnya
bekerja menjadi kuli di PN Timah, bergegas berangkat kerja naik sepeda,
menerima gaji kecil dan beras 60 kilogram setiap tanggal 1. Selalu begitu,
tetap, bertahun-tahun.
Bujang
tahu apa yang mereka bicarakan di warung-warung kopi. Yang muda pasti berbicara
tentang pemerintah, dan yang tua pasti bercerita tentang soal masa sulit
penjajahan Belanda.
Ayah
Bujang hanyalah unsur sederhana dalam kronologi zaman dan inti dari
kesederhanaan.
Telah
bujang temukan dalam buku sejarah bahwa timah berlimpah di pulai Belitong dan
membuat Belanda benafsu mengerik semuanya. Dalam putaran kerakusan nan dahsyat
itu lelaki anak-anak Melayu di bawah umur diseret ke parit-parit tambang untuk
kerja rodi.
Pernah
tercatat beberapa perlawanan yang pernah diletuskan rakyat. Namun, kaum yang
rendah hati tak mengenal kekerasan.
Waktu
demi waktu berlalu. Tertindas dibawah penjajahan, rakyat menemukan caranya
sendiri untuk melawan . para penyelam tradisional melawan dengan membocorkan
kapal-kapal dagang Belanda. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur.
Para imam membangun pasukan rahasia di langgar-langgar. Para kuli parit tambang
melawan dengan sepak bola.
Waktu
kelas lima SD Bujang menemukan sesuatu di bawah tumpukan pakaian bekas. Benda
itu adalah sebuah album foto. Ketika Bujang melihat-lihat benda itu Ibunya
merebutnya dari Bujang dan memberikan peringatan agar jangan sekali-kali Bujang
bermain dengan benda itu.
Lalu
Bujang mencari-cari lagi ditempat Ibunya biasa menyembunyikan sesuatu, akhirnya
album itu ditemukan di atas sebuah lemari rustik yang tua.
Larangan
Ibu Bujang membuat album itu semakin menarik dan yang paling menarik adalah
sebuah foto hitam putih yang samar-samar dan berbintik-bintik dirusak usia.
Fotoini
adalah seorang yang memegang sesuatu yang seharusnya membuat dia senang. Namun,
dia tidak tertawa, tidak pula tersenyum. Bujang tidak mengenalnya karena bagian
wajahnya sangat buram untuk dilihat. Kesan pertama saat Bujang melihat foto itu
adalah bahwa dia adalah seorang yang hebat. Tiba-tiba Ayah Bujang memanggil
Bujang untuk melihat hasil buruan Ayahnya, cepat-cepat Bujang melemparkan
kembali album itu keatas lemari.
Seiring
usia Bujang dengan Ayah semakin mendekat, Ayahnya tetaplah yang pendiam. Jika
berpergian, mulut Bujang berkicau-kicau dan bertanya tanya itu ini, Ayah hanya
diam dan sesekali tersenyum. Yang palin sering Bujang pertanyakan adalah
mengapa tangan Ayahnya kasar sseperti amplas dan jalannya timpang. Tetapi
Ayahnya hanya diam saja, tiba-tiba Ayahnya menjawab bahwa ia bekerja ada zaman
Belanda.
Setelah
sekian lama menjarah hasil tambang Belitong, tibalah saatnya VOC membentuk
meskapai timah. Semua tgambang dibawah penguasaan Belanda.
Para
karyawan diberi kesempatan membentuk tim olahraga, meski begitu ketidak adilan
semakin kejam dibawah pimpinan Distric
Beheerder Van Holden yang membawahi wilayah ekonomi pulau Bangka dan
Belitong.
Ironi
sesungguhnya adalah Van Holden memerintahkan agar hari lahir Ratu Belanda
diperingati ditanah jajahan. Orang-orang melayu dipaksakan untuk memerihahkan
hari itu. Perayaan itu ditandai dengan pertandingan sesama orang jajahan, atau
Belanda melawan orang jajahan. Tapi tentu saja, sehebat bagaimanapun, orang
jajahan tidak boleh menang melawan penjajah.
Para
pelari maraton yang sudah dekat garis finis harus memperlambat larinya demi
menunggu pelari Belanda. Dalam lomba renag, orang Melayu terpaksa harus
berpura-pura habis napas, bahkan tenggelam. Rusli Makadam sebenarnya pintar
main catur dan selalu menjadi juara di kampung tetapi dia membiarkan penjajah
menang.
Di
tengah olahraga yang telah dipolitisasi dan tekanan batin olahragawan lokal,
tersebar berita tentang tiga anak muda yang lihai bermain bola perlahan tapi
pasti si tiga anak muda itu berhasil mengangkat pamor untik tambang dalam piala
Distric beheerder. Tim itu menang
terus menghadap unit-unit lain dilingkungan meskapai timah Bangka Belitong.
Sabar
soal kehebatan tiga anak muda itu sampai ketelinga Van Holden. Dalam peringatan
hari ulang tahun ratu Belanda tahun berikutnya, Van Holden sengaja datang ke lapangan
sepak bola untuk menyaksikan anak muda itu.
Van
Holden terpana, tiga anak muda itu tampak kompak bahu membahu, membentuk
segitiga serangan maut dilapangan hijau.
Mereka adalah hiburan, kekuatan, dan inspirasi bagi rakyat jelata untuk
menahankan derita penjajahan yang tak berkesudahan.
Van
Holden melihat sendiri bahwa mereka anak-anak muda melesat bak bintang kejora.
Alhasil,
di tengah sebuah pertandingan yang disaksikan oleh Van Holden dan para petinggi
meskapai, Pelatih Amin terpaksa memanggil ketiga anak muda itu tanpa alasan
jelas. Pelatih terintimidasi sehingga harus membangkucadangkan
mereka. Pada pertandinagn selanjutnya mereka dilarang tampil. Dalam sebuah
pertandingan, mereka nekat nampil. Mereka tak menghiraukan bahaya yang dapat
mengancam jiwa. Karena mereka tahu sepak bolaberarti bagi rakyat jelata yang
mendukung mereka. Lapangan bola adalah lapangan medan pertempuran tuntuk
melawan penjajah. Pertandingan yang penuh ketakutan itu berlangsung seru. Usai
pertandingan mereka diringkus tentara Belanda dan dibawa ke ruang [enyiksaan
dan mereka keluar dengan babak belur.
Rakyat
putus harapan. Sulit mengharapkan tiga anak muda kembali ke kampung dalam
keadaan hidup.
Seorang
pemain sepa bola sayap kiri berbakat alam luar biasa, yang berlari sederas
menjangan, yang mampu melewati tiga pemain belakang lalu menendang bola sekuat
kanon dengan kaki kirinya, yang dibuang belanda bersama para narapidanan ke
pulai terpencil karena membangkang, yang menolak untuk takluk, adalah lelaki
yang kemidian menjadi Ayah Bujang.
Bujang
semakin menyukai getaran-getaran album itu karena foto-foti tersebut penuh
dengan sejarah. Bujang ingin sekali tahu kisah dibalik foto itu. Namun tak tahu
harus kepada siapa ia bertanya. Lalu foto itu dibawanyalah ke rumah pamannya.
Ternyata yang ada didalam foto itu adalah Ayahnya Bujang. Bujang pun tekejut.
Lalu pamannya menceritakan tentak sejarah foto tersebut. Bujang berdebar-debar mendengarb kisah
pemburu tentang final yang seru antara tim Belanda melawan para kuli parit
tambang.
Sebuah
foto telah menjawab segalanya. Sejarah telah memperlihatkan semua hal tetntang
kerakusan, kesombongan, kekejaman, keikhlasan, pemgorbanan, dan daya juang.
Namun tampaknya manusia lebih bernafsu membuat sejarah ketimbang belajar dari
sejarah.
Orang
seperti Ayah Bujang seperti bukanlah orang hidup dengan sebuah kemewahan
harapan yang sering disebut sebagai cita-cita, namun Bujang yakin jika Ayahnya
memang pernah bercita-cita, cita-citanya pasti ingin menjadi pemain sepak bola
untuk mebela bangsanya, menjadi pemain PSSI. Bujang akan menggantikan Ayahnya
sebagai pemain PSSI.
Sejak
itu Bujang dan Mahar menjunjung kue lebih banyak dan berjualan keliling kampung
lebih rajin demi membeli sepatu bola.
Kisah
Ayahnya memberi Bujang tenaga lebih sehingga Bujang tak pernah merasa lelah,
bahkan meminta latihan yang lebih keras.
Kepada
pelatih Tiharun Bujang meminta petuah bagaimana cara agar bisa menendang bola
dengan kaki kiri, agar macam tendangan kiri Ayah Bujang dahulu.
Dilapangan
hijau Bujang memilih nomor punggung 11, seperti nomor punggung Ayahnya dulu.
Selama bermain rasanya Bujang menjelma menjadi Ayahnya. Lapangan sepak bola itu
adalah lapangan yang sama dimana Ayahnya dulu bermain sebagai sayap kiri yang
amat dikagumi.
Saat
pertandingan, tanpa ambil tempo, Bujang menyosong bola itu tanpa lalu ia babat
sekuat tenaga dengan kaki kiri. Bujang tidak tahu kemana bola yang ia sikat,
namun beberapa detik kemudian terdengar teriakan gooooolll. Bujang berlari
kencang ke arah Ayahnya sambil berteriak Indonesia ! Indonesia !.
Bujang
telah terpilih menjadi pemain junior Kabupaten. Dua langkah lagi untuk menjadi
pemain PSSI. Dikatakan oleh pelatih Toharun dengan memandang Bujang seakan
pemain sepak bolamyang bahkan tak ada setengahnya dari Ayahnya.
Sepak
bola bak angkasa raya yang senantiasa berpijar melahirkan bintang-bintang baru.
Terlepas dari pelatih Toharun, Bujang jelas tak sehebat dengan Ayahnya dan
bintang-bintang baru lainnya lebih berbakat dari Bujang, Pelatih Toharun
mengatakan bahwa Bujang telah kehilangan sentuhan. Pada kesempatan usia terkhir
untuk pemain junior, Bujang mengikuti seleksi lagi dan gagal. Pelan-pelan
Bujang menata lagi perasaanya dengan selalu mengingat petuah Ayahnya.
Biarlah,
sebab selebihnya, Bujang dan Ayahnya semakin setia kepada PSSI. Silahkan mereka
atau siapa saja ngomel-ngomel melihat PSSI kalah, cinta mereka tetap kepada
PSSI.
Usai
SMA Bujang merantau dan bersekolah di Universitas Sorbonne,Prancis. Demi misi
penghematan Bujang lebih memilih berjalan kaki dari sebuah terminal bus di timur
Madrid.
Disaku
Bujang hanya ada uang enam puluh euro lebih sedikit dan seluruhnya memang
direncanakan sejak lama untuk membelikan ayahnya kaus Luis Figo. Tanda tangan
asli orang Portugal itu telah mengacaukan semuanya. Seorang backpacker Australia mengatakan di luar
Barcelona ada yang erlu tukang cat dan tukang angkat-angkat furnitur. Bayaran
pekerjaan itu sangat murah, namun Bujang tak memiliki pilihan lain. Bujang
bekerja keras dan berdoa agar kaus Figo itu tidak keburu disambar orang lain.
Real
Madrid dan Barcelona FC adalah tim-tim hebat namun sepak bola kegemaran Bujang
tetap PSSI.
Pekerjaan
Bujang memungut bola, mengumpulkan kaus pemain, dan diperintah-perintah. Maka
jadilah Bujang tukang angkat-angkat perabot pada sianh hari. 250 euro telah
terkumpul. Bujang berlari kencang menuju stasiun terdekat. Sesampainya, Bujang
berlari lagi menuju Estadio Santiago.
Dengan napas tersenggal-senggal, Bujang sampai di toko resmi Real Madrid dan
langsung hambur kelemari dimaka kaus itu di display.
Namun betapa kecewanya Bujang karena yang tampak hanyalah bingkainya saja.
Bujang
telah duakali gagal memenuhi harapan Ayah. Gagal menjadi pemain PSSI dan gagal
membeli kaus Figo untuk Ayahnya. Bujang berbalik dan terkejut melihat Andriana
berdiri tepat didepannya dan dia mengamatinya. Andriana menunjukkan jarinya
seakan menyuruh Bujang untuk tetapp ditempat. Ditanganya Bujang melihat kaus
Figo bertanda tangan asli itu. Bujang berlonjak-lonjak girang.
Tak
ada yang lebih layak Bujang berikan bagi bangsanya selaincinta, dan takkan
Bujang biarkan lagi apa pun menodai cinta itu, tidak juga karena ulah para
koruptor yang merajalela, biarlah kalau tidur mereka didatangi kuntilanak
sumpah pocong.
Esoknya
Bujang mengirim kaus Luis Figo itu untuk Ayahnya dan kaus Barcelona untuk Pelatih
Toharun.
Bujang
juga mengirimkan surat untuk Ayahnya yang Bujang tahu akan dibacakan oleh
Ibunya untuknya dilampiri foto-foto Bujang di depan Estadio Santiago.
Dibagian
akhir surat Bujang menulis :
Ayahanda,
Dari jauh kumelihat,
tak lepas kumemandang,
Sebelas patriot, rapatkan barisan.
Peluit berkumandang,
bendera berkibar-kibar,
Dadaku bergetar.
Sebelas patriot, garang
menyerang, gagah
bertahan
Ayahanda
Aku akan tetap untukmu
Dan katakan pada PSSI,
aku akan datang untuknya!
Ayah, engkau pernah
dibungkam ketika
meneriakkan
Indonesia
Ini aku, ini anakmu,
berteriak sekuat tenaga,
Indonesia! Indonesia!
Indonesia aku datang!
PSSI, engkau menang!
Ayahanda,
Aku ingin menjadi
patriot PSSI
Jantungku berdetak
untuk PSSI
Anakmu,
Bujang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar