Minggu, 02 Desember 2012

Sebelas Patriot


Andrea Hirata, novelis Indonesia paling fenomenal, menghadirkan Sebelas Patriot sebagai novel ketujuhnya dalam bahasa Indonesia.
Sebelas Patriot adalah adalah kisah yang menggetarkan dan sangat inspiratif tentang cinta seorang anak, pengorbanan seorang Ayah,makna menjadi orang Indonesia, dan kegigihan menggapai mimpi-mimpi.

Semua hal yang pernah Bujang ingat tentang Ayahnya adalah biasa saja. Sangat biasa. Ingatan pertama tentang Ayahnya tampak samar, yaitu pada suatu malam Bujang duduk ditengah sebuah ruangan dengan dua anak lain yang bernama Trapani dan Mahar tiba-tiba Mahar, dengan jarinya, menyentuh hidung luak. Binatang malam itu tersentak lalu mencakar garang. Bujang pucat dan gemetar. Ayah budang mendekapnya dan sambil tersenyum diletakkannya tangannya di dada Bujang untuk meredankan gemuruh disitu. Nah itu lah ingatan Bujang, mungkin ketika itu Bujang masih berumur tiga atau empat tahun.
Ayahnya bekerja menjadi kuli di PN Timah, bergegas berangkat kerja naik sepeda, menerima gaji kecil dan beras 60 kilogram setiap tanggal 1. Selalu begitu, tetap, bertahun-tahun.
Bujang tahu apa yang mereka bicarakan di warung-warung kopi. Yang muda pasti berbicara tentang pemerintah, dan yang tua pasti bercerita tentang soal masa sulit penjajahan Belanda.
Ayah Bujang hanyalah unsur sederhana dalam kronologi zaman dan inti dari kesederhanaan.

Telah bujang temukan dalam buku sejarah bahwa timah berlimpah di pulai Belitong dan membuat Belanda benafsu mengerik semuanya. Dalam putaran kerakusan nan dahsyat itu lelaki anak-anak Melayu di bawah umur diseret ke parit-parit tambang untuk kerja rodi.
Pernah tercatat beberapa perlawanan yang pernah diletuskan rakyat. Namun, kaum yang rendah hati tak mengenal kekerasan.
Waktu demi waktu berlalu. Tertindas dibawah penjajahan, rakyat menemukan caranya sendiri untuk melawan . para penyelam tradisional melawan dengan membocorkan kapal-kapal dagang Belanda. Para pemburu melawan dengan meracuni sumur-sumur. Para imam membangun pasukan rahasia di langgar-langgar. Para kuli parit tambang melawan dengan sepak bola.

Waktu kelas lima SD Bujang menemukan sesuatu di bawah tumpukan pakaian bekas. Benda itu adalah sebuah album foto. Ketika Bujang melihat-lihat benda itu Ibunya merebutnya dari Bujang dan memberikan peringatan agar jangan sekali-kali Bujang bermain dengan benda itu.
Lalu Bujang mencari-cari lagi ditempat Ibunya biasa menyembunyikan sesuatu, akhirnya album itu ditemukan di atas sebuah lemari rustik yang tua.
Larangan Ibu Bujang membuat album itu semakin menarik dan yang paling menarik adalah sebuah foto hitam putih yang samar-samar dan berbintik-bintik dirusak usia.
Fotoini adalah seorang yang memegang sesuatu yang seharusnya membuat dia senang. Namun, dia tidak tertawa, tidak pula tersenyum. Bujang tidak mengenalnya karena bagian wajahnya sangat buram untuk dilihat. Kesan pertama saat Bujang melihat foto itu adalah bahwa dia adalah seorang yang hebat. Tiba-tiba Ayah Bujang memanggil Bujang untuk melihat hasil buruan Ayahnya, cepat-cepat Bujang melemparkan kembali album itu keatas lemari.
Seiring usia Bujang dengan Ayah semakin mendekat, Ayahnya tetaplah yang pendiam. Jika berpergian, mulut Bujang berkicau-kicau dan bertanya tanya itu ini, Ayah hanya diam dan sesekali tersenyum. Yang palin sering Bujang pertanyakan adalah mengapa tangan Ayahnya kasar sseperti amplas dan jalannya timpang. Tetapi Ayahnya hanya diam saja, tiba-tiba Ayahnya menjawab bahwa ia bekerja ada zaman Belanda.

Setelah sekian lama menjarah hasil tambang Belitong, tibalah saatnya VOC membentuk meskapai timah. Semua tgambang dibawah penguasaan Belanda.
Para karyawan diberi kesempatan membentuk tim olahraga, meski begitu ketidak adilan semakin kejam dibawah pimpinan Distric Beheerder Van Holden yang membawahi wilayah ekonomi pulau Bangka dan Belitong.
Ironi sesungguhnya adalah Van Holden memerintahkan agar hari lahir Ratu Belanda diperingati ditanah jajahan. Orang-orang melayu dipaksakan untuk memerihahkan hari itu. Perayaan itu ditandai dengan pertandingan sesama orang jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan. Tapi tentu saja, sehebat bagaimanapun, orang jajahan tidak boleh menang melawan penjajah.
Para pelari maraton yang sudah dekat garis finis harus memperlambat larinya demi menunggu pelari Belanda. Dalam lomba renag, orang Melayu terpaksa harus berpura-pura habis napas, bahkan tenggelam. Rusli Makadam sebenarnya pintar main catur dan selalu menjadi juara di kampung tetapi dia membiarkan penjajah menang.

Di tengah olahraga yang telah dipolitisasi dan tekanan batin olahragawan lokal, tersebar berita tentang tiga anak muda yang lihai bermain bola perlahan tapi pasti si tiga anak muda itu berhasil mengangkat pamor untik tambang dalam piala Distric beheerder. Tim itu menang terus menghadap unit-unit lain dilingkungan meskapai timah Bangka Belitong.
Sabar soal kehebatan tiga anak muda itu sampai ketelinga Van Holden. Dalam peringatan hari ulang tahun ratu Belanda tahun berikutnya, Van Holden sengaja datang ke lapangan sepak bola untuk menyaksikan anak muda itu.
Van Holden terpana, tiga anak muda itu tampak kompak bahu membahu, membentuk segitiga serangan maut dilapangan hijau.  Mereka adalah hiburan, kekuatan, dan inspirasi bagi rakyat jelata untuk menahankan derita penjajahan yang tak berkesudahan.
Van Holden melihat sendiri bahwa mereka anak-anak muda melesat bak bintang kejora.
Alhasil, di tengah sebuah pertandingan yang disaksikan oleh Van Holden dan para petinggi meskapai, Pelatih Amin terpaksa memanggil ketiga anak muda itu tanpa alasan jelas. Pelatih terintimidasi sehingga harus membangkucadangkan mereka. Pada pertandinagn selanjutnya mereka dilarang tampil. Dalam sebuah pertandingan, mereka nekat nampil. Mereka tak menghiraukan bahaya yang dapat mengancam jiwa. Karena mereka tahu sepak bolaberarti bagi rakyat jelata yang mendukung mereka. Lapangan bola adalah lapangan medan pertempuran tuntuk melawan penjajah. Pertandingan yang penuh ketakutan itu berlangsung seru. Usai pertandingan mereka diringkus tentara Belanda dan dibawa ke ruang [enyiksaan dan mereka keluar dengan babak belur.
Rakyat putus harapan. Sulit mengharapkan tiga anak muda kembali ke kampung dalam keadaan hidup.
Seorang pemain sepa bola sayap kiri berbakat alam luar biasa, yang berlari sederas menjangan, yang mampu melewati tiga pemain belakang lalu menendang bola sekuat kanon dengan kaki kirinya, yang dibuang belanda bersama para narapidanan ke pulai terpencil karena membangkang, yang menolak untuk takluk, adalah lelaki yang kemidian menjadi Ayah Bujang.
Bujang semakin menyukai getaran-getaran album itu karena foto-foti tersebut penuh dengan sejarah. Bujang ingin sekali tahu kisah dibalik foto itu. Namun tak tahu harus kepada siapa ia bertanya. Lalu foto itu dibawanyalah ke rumah pamannya. Ternyata yang ada didalam foto itu adalah Ayahnya Bujang. Bujang pun tekejut. Lalu pamannya menceritakan tentak sejarah foto tersebut.  Bujang berdebar-debar mendengarb kisah pemburu tentang final yang seru antara tim Belanda melawan para kuli parit tambang.
Sebuah foto telah menjawab segalanya. Sejarah telah memperlihatkan semua hal tetntang kerakusan, kesombongan, kekejaman, keikhlasan, pemgorbanan, dan daya juang. Namun tampaknya manusia lebih bernafsu membuat sejarah ketimbang belajar dari sejarah.
Orang seperti Ayah Bujang seperti bukanlah orang hidup dengan sebuah kemewahan harapan yang sering disebut sebagai cita-cita, namun Bujang yakin jika Ayahnya memang pernah bercita-cita, cita-citanya pasti ingin menjadi pemain sepak bola untuk mebela bangsanya, menjadi pemain PSSI. Bujang akan menggantikan Ayahnya sebagai pemain PSSI.
Sejak itu Bujang dan Mahar menjunjung kue lebih banyak dan berjualan keliling kampung lebih rajin demi membeli sepatu bola.
Kisah Ayahnya memberi Bujang tenaga lebih sehingga Bujang tak pernah merasa lelah, bahkan meminta latihan yang lebih keras.
Kepada pelatih Tiharun Bujang meminta petuah bagaimana cara agar bisa menendang bola dengan kaki kiri, agar macam tendangan kiri Ayah Bujang dahulu.
Dilapangan hijau Bujang memilih nomor punggung 11, seperti nomor punggung Ayahnya dulu. Selama bermain rasanya Bujang menjelma menjadi Ayahnya. Lapangan sepak bola itu adalah lapangan yang sama dimana Ayahnya dulu bermain sebagai sayap kiri yang amat dikagumi.
Saat pertandingan, tanpa ambil tempo, Bujang menyosong bola itu tanpa lalu ia babat sekuat tenaga dengan kaki kiri. Bujang tidak tahu kemana bola yang ia sikat, namun beberapa detik kemudian terdengar teriakan gooooolll. Bujang berlari kencang ke arah Ayahnya sambil berteriak Indonesia ! Indonesia !.
Bujang telah terpilih menjadi pemain junior Kabupaten. Dua langkah lagi untuk menjadi pemain PSSI. Dikatakan oleh pelatih Toharun dengan memandang Bujang seakan pemain sepak bolamyang bahkan tak ada setengahnya dari Ayahnya.
Sepak bola bak angkasa raya yang senantiasa berpijar melahirkan bintang-bintang baru. Terlepas dari pelatih Toharun, Bujang jelas tak sehebat dengan Ayahnya dan bintang-bintang baru lainnya lebih berbakat dari Bujang, Pelatih Toharun mengatakan bahwa Bujang telah kehilangan sentuhan. Pada kesempatan usia terkhir untuk pemain junior, Bujang mengikuti seleksi lagi dan gagal. Pelan-pelan Bujang menata lagi perasaanya dengan selalu mengingat petuah Ayahnya.
Biarlah, sebab selebihnya, Bujang dan Ayahnya semakin setia kepada PSSI. Silahkan mereka atau siapa saja ngomel-ngomel melihat PSSI kalah, cinta mereka tetap kepada PSSI.
Usai SMA Bujang merantau dan bersekolah di Universitas Sorbonne,Prancis. Demi misi penghematan Bujang lebih memilih berjalan kaki dari sebuah terminal bus di timur Madrid.
Disaku Bujang hanya ada uang enam puluh euro lebih sedikit dan seluruhnya memang direncanakan sejak lama untuk membelikan ayahnya kaus Luis Figo. Tanda tangan asli orang Portugal itu telah mengacaukan semuanya. Seorang backpacker Australia mengatakan di luar Barcelona ada yang erlu tukang cat dan tukang angkat-angkat furnitur. Bayaran pekerjaan itu sangat murah, namun Bujang tak memiliki pilihan lain. Bujang bekerja keras dan berdoa agar kaus Figo itu tidak keburu disambar orang lain.
Real Madrid dan Barcelona FC adalah tim-tim hebat namun sepak bola kegemaran Bujang tetap PSSI.
Pekerjaan Bujang memungut bola, mengumpulkan kaus pemain, dan diperintah-perintah. Maka jadilah Bujang tukang angkat-angkat perabot pada sianh hari. 250 euro telah terkumpul. Bujang berlari kencang menuju stasiun terdekat. Sesampainya, Bujang berlari lagi menuju Estadio Santiago. Dengan napas tersenggal-senggal, Bujang sampai di toko resmi Real Madrid dan langsung hambur kelemari dimaka kaus itu di display. Namun betapa kecewanya Bujang karena yang tampak hanyalah bingkainya saja.
Bujang telah duakali gagal memenuhi harapan Ayah. Gagal menjadi pemain PSSI dan gagal membeli kaus Figo untuk Ayahnya. Bujang berbalik dan terkejut melihat Andriana berdiri tepat didepannya dan dia mengamatinya. Andriana menunjukkan jarinya seakan menyuruh Bujang untuk tetapp ditempat. Ditanganya Bujang melihat kaus Figo bertanda tangan asli itu. Bujang berlonjak-lonjak girang.
Tak ada yang lebih layak Bujang berikan bagi bangsanya selaincinta, dan takkan Bujang biarkan lagi apa pun menodai cinta itu, tidak juga karena ulah para koruptor yang merajalela, biarlah kalau tidur mereka didatangi kuntilanak sumpah pocong.
Esoknya Bujang mengirim kaus Luis Figo itu untuk Ayahnya dan kaus Barcelona untuk Pelatih Toharun.
Bujang juga mengirimkan surat untuk Ayahnya yang Bujang tahu akan dibacakan oleh Ibunya untuknya dilampiri foto-foto Bujang di depan Estadio Santiago.
Dibagian akhir surat Bujang menulis :

Ayahanda,
Dari jauh kumelihat, tak lepas kumemandang,
            Sebelas patriot, rapatkan barisan.
Peluit berkumandang, bendera berkibar-kibar,
            Dadaku bergetar.
Sebelas patriot, garang menyerang, gagah
            bertahan
Ayahanda
Aku akan tetap untukmu
Dan katakan pada PSSI, aku akan datang untuknya!
Ayah, engkau pernah dibungkam ketika
            meneriakkan  Indonesia
Ini aku, ini anakmu, berteriak sekuat tenaga,
            Indonesia! Indonesia!
Indonesia aku datang!
PSSI, engkau menang!
Ayahanda,
Aku ingin menjadi patriot PSSI
Jantungku berdetak untuk PSSI

Anakmu,
Bujang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar